Harga transfer atau Transfer Pricing (TP) adalah mekanisme penentuan harga jual khusus barang dan atau jasa antar, bagian, divisi, atau antar anggota grup korporasi agar dapat ditentukan nilai penyerahan barang dan atau jasa yang ditransfer. TP dilakukan antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (related parties), dalam lingkup penguasaan karena kepemilikan saham atau manajemen. Tujuannya TP pada korporasi untuk keperluan akuntansi yaitu mencatat biaya pada bagian pembeli dan penjualan pada bagian penjualan sehingga masing-masing bagian, divisi, atau unit usaha dapat dievaluasi dan dihitung kinerjanya dan memperoleh harga lebih rendah dibanding beli ke grup lain yang tidak ada hubungan istimewa. Penentuan harga transfer pun bermacam-macam yaitu berdasarkan harga transfer dasar biaya, harga transfer atas dasar harga pasar, dan harga transfer atas dasar harga negosiasi sesuai tujuan perusahaan. TP dapat digunakan untuk keperluan kebaikan dan penghindaran pajak.
Pada perusahaan multi nasional, TP dikelola secara serius oleh profesional bidang TP karena memberikan keuntungan yang sangat besar pada perusahaan dan sarana paling tepat untuk menghindari pajak. Negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak dapat berbuat banyak melawan praktik TP yang merugikan negara dari potensi pajak yang seharusnya dibayar karena perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menentukan harga yang tidak wajar (harga rendah) sehingga keuntungan rendah. Penyerahan barang dalam grup perusahaan di luar negeri yang terdaftar di negara dengan tarif pajak rendah (tax haven country) harga dibuat rendah. Kemudian ketika di negara tax haven barang dijual dengan harga sangat tinggi dan keuntungan besar namun dengan tarif pajak yang rendah.
Penentuan TP tidak akan ada konflik kepentingan dengan beberapa pihak jika harganya wajar, namun jika tidak wajar akan menjadi sengketa terutama dengan otoritas pengawas pajak negara setempat. Salah satu cara untuk mengurangi konflik penentuan harga yang wajar Wajib Pajak (WP) Indonesia dapat melakukan kesepakatan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam dokumen Advance Pricing Agreement (APA). Apabila telah disepakati dalam dokumen, penentuan harga jual di kemudian hari akan lebih mudah dan memberi kepastian hukum karena fiskus tidak akan melakukan koreksi penjualan atas laporan keuangan yang disampaikan perusahaan multi nasional.
Harga wajar dalam TP
Istilah harga wajar dalam TP menjadi perdebatan beberapa pihak dalam mengartikan kata “wajar”. Wajar menurut fiskus diartikan sebagai harga lazim jika tidak ada hubungan istimewa antara penjual dan pembeli menurut prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Jika tidak mempunyai hubungan istimewa maka penjual diasumsikan berpotensi akan memperoleh tambahan penghasilan yang seharusnya diterima atau dianggap diterima.
Contoh kasus sengketa penafsiran antara WP dan fiskus tentang harga wajar dan pasal 18 (3) UU PPh, yang sengketanya telah diputuskan di pengadilan pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT- 10375/PP/M.VIII/25/2007.
Kutipan sebagian pendapat majelis hakim atas kasus tidak membebankan sebagai biaya karena ada hubungan istimewa:
bahwa atas penghasilan yang seharusnya diterima atau dianggap diterima, tidak dapat dikenakan Pajak Penghasilan karena tidak ada objek dan subjek pajak yang nyata;
bahwa Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tersebut tidak memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan objek pajak baru yaitu penghasilan yang seharusnya diterima atau dianggap diterima dan biaya yang seharusnya dikeluarkan atau dianggap dikeluarkan; dan Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.09651/PP/M.II/16/2006:
Bahwa Terbanding tidak seharusnya menetapkan harga jual produk Pemohon Banding sesuai kewajaran atau kelaziman usaha (yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa) berdasarkan laba bruto tertinggi selama lima tahun terakhir yaitu tahun pajak 1999 sebesar 46,39%, karena harga jual wajar dalam suatu tahun sangat dipengaruhi oleh banyak faktor terutama kondisi perekonomian pada umumnya dalam tahun yang bersangkutan, sehingga tidak dapat diyakini bahwa tingkat laba kotor suatu tahun dapat menggambarkan harga jual yang wajar untuk tahun-tahun yang lain;
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan pembuktian tersebut, Majelis berkesimpulan bahwa atas harga jual produk Pemohon Banding kepada PT DEF, walaupun terdapat hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, tidak terbukti adanya ketidakwajaran harga jual produk Pemohon Banding, dengan demikian maka Majelis berpendapat koreksi penjualan sebesar Rp.1.873.119.926,00 tidak dapat dipertahankan.
Dengan demikian mengacu pada pendapat hakim dari dua putusan di atas, bahwa dalam penentuan harga transfer (TP) fiskus tidak dapat memakai asumsi penghasilan yang seharusnya diterima atau dianggap diterima jika tidak ada hubungan istimewa, sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan karena tidak ada objek dan subjek pajak yang nyata. Pada pasal 18 (3) UU PPh meskipun DJP diberi wewenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan (biaya), namun tidak diberikan kebebasan sepenuhnya menentukan harga transfer yang wajar. Penentuan harga jual adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli, wilayah hukum perdata di antara pihak yang mengadakan perjanjian sehingga pihak ketiga tidak dapat berpengaruh lebih banyak.
terima kasih mas atas artikelnya,,,
saya jadi mengenal tentang Transfer Pricing …
Salam hangat selalu
Lalu, bgmn penerapan pasal 18 ayat 3? Ini artinya jadi pasal mandul. Artinya tidak dpt diterapkan. Apalagi jika putusan Majelis hakim “Yang Mulia” itu jadi yurisprudensi.