Catatan Kecil tentang Papua bagian 1

Papua dan Jakarta

Tahun lalu Kompas memuat berita menyeramkan, karena tidak dapat memuaskan keinginan atasan, seorang pegawai diancam mutasi ke Papua. Duh, Papua tidak lah lebih menyeramkam dibanding perlakuan atasan terhadap bawahan pada berita tersebut. Ancaman mutasi ke Papua terbukti masih efektif untuk menakut-nakuti para pegawai di Jakarta dengan memberikan citra negatif sebagai tempat buangan. Karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan yang menentukan promosi, mutasi, dan karir seseorang maka semakin jauh dari Jakarta, semakin kecil peluang meraih sukses yang pada umumnya diukur dari tingginya jabatan dan banyaknya kekayaan yang dikumpulkan.

Uang beredar secara nasional lebih dari separuh beredar di Jakarta, memberi peluang kepada siapa saja, mulai dari pegawai golongan rendah hingga golongan tinggi dapat mengumpulkan kekayaan fantastis. Kesempatan yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Hal ini mendorong sebagian besar orang berlomba-lomba bekerja di Jakarta demi meraih kekayaan yang sebesar-besarnya.

Berbicara Papua dan Jakarta, ingatan saya terbawa pada pertemuan di pantai terpencil di Papua dengan penduduk setempat yang gagal mengadu nasib sebagai tenaga kasar di pasar Tanah Abang. Gagal menjadi kaum urban di Jakarta lalu dengan kapal putih, kapal penumpang milik PT PELNI yang membawanya kembali ke kampung halaman.

Pertemuan pada hari Minggu siang tahun 2007 itu diawali teguran, “Mas jangan mancing ke tengah, ini hari Minggu, waktunya beribadah” suara yang datang dari balik pohon. Pada saat itu saya dengan teman sedang melepas ikatan tali lalu menarik kayak, perahu kecil kapasitas dua orang. Kayak milik teman tersebut dititipkan pada salah seorang di kampung nelayan yang boleh digunakan tetapi pada hari Sabtu dan Minggu khusus untuk pemilik kayak.

Saya sejak berangkat dari rumah tidak menyiapkan diri memancing secara serius karena pada hari sebelumnya ikan tidak banyak seperti biasanya, angin kencang maka pada hari itu hanya ingin berenang dan snorkling. Setelah teman bergerak dengan kayaknya lalu saya ke daratan menemui orang yang menegur dari balik pohon tadi. Kacang goreng dan sebungkus rokok kretek rendah nikotin menemani obrolan kurang lebih satu jam. Setelah mengobrol tentang kesana-kemari lalu saya berenang menyusuri pantai sambil melihat dunia bawah air yang indah ikan dan karangnya.

Salah satu kalimat menyentuh hati yang saya ingat dari obrolan, “Jakarta daerah yang tidak punya sumber daya alam apa-apa, tetapi apa-apa yang ada di daerah lain, ada di Jakarta”. Ya, saya mengiyakan. Papua punya segalanya, gunung emas, hutan kayu berlimpah, elpiji, minyak bumi, dan sebagainya tetapi barang-barang tersebut sulit diperoleh di Papua. Bahkan, beberapa minggu sebelumnya saya melihat antrian sangat panjang di bawah terik matahari demi sejerigen minyak tanah.

Papua ketinggalan dua dasa warsa kemerdekaannya dibanding daerah lain di Indonesia, tetapi aturan mengikuti Jakarta yang lebih dulu merdeka dan maju. Beberapa bulan setelah pertemuan dengan urban yang gagal di pantai, tepatnya pada Sabtu ketika makan pagi di warung makan depan penjara saya melihat tarian di pelataran penjara. Informasi yang saya dapatkan, tarian tersebut sedang menjemput pejabat yang bebas dari penjara karena kasus korupsi. Sebuah tarian tragedi.

Saya menyebutnya tarian tragedi karena kisah yang membawa ke penjara para pemimpin mereka adalah salah satu akibat ketertinggalan pengetahuan. Informasi tentang persepsi yang saya peroleh, jika uang negara dialokasikan untuk Papua, adalah milik mereka dan tidak begitu peduli ikuti prosedur pengelolaan keuangan negara yang berlaku nasional. Padahal pelanggaran prosedur yang merugikan keuangan negara juga termasuk korupsi.

Beberapa kepala daerah menjadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi, tetapi dalam Pemilu yang dipilih rakyat seorang terdakwa terpilih menjadi kepala daerah. Sebuah ironi, saya menduga karena kurangnya penyuluhan pengenalan nilai-nilai korupsi dan bukan korupsi dalam masyarakat terkait dengan pengelolaan kekuangan negara. Entah kesalahan siapa, yang jelas pada saat pelaksanaan proyek-poyek yang kemudian diketahui korupsi kurang pembimbingan, pengawasan untuk pencegahan dari unsur korupsi.

Hutan Papua dan Perdagangan Karbon

Pada 11 Desember 1997 di Kyoto Jepang telah ditandatangani Protokol Kyoto yaitu amandemen Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dilanjutkan dengan Konferensi Tingkat Tinggi atau Conference of the Parties di beberapa negara. Negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto berkomitmen mengurangi emisi karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi untuk mengurangi pemanasan global yang dikaitkan dengan perubahan iklim.

Water Playground

Gambar: A wide area in Pacific Ocean is Water Playground for Papua children

Skema perdagangan karbon (carbon trading) melalui mekanisme pemberian penghargaan (reward) bagi  pengelolaan hutan yang menjamin agar hutan lestari, tidak termasuk status hutan produksi dan hutan konservasi. Asumsinya satu pohon mampu menyerap gas karbon sebanyak 1-2 ton per tahun sehingga negara yang mempunyai hutan berhak mendapat kompensasi dari negara maju dengan harga karbon US $ 30- 50 per ton sesuai harga pasar.

Konsep REDD (Reduced Emissions from Deforestation and Degradation) sebagai salah satu cara mengurangi emisi yang mulai diberlakukan tahun 2012 juga belum konkrit. Beberapa negara maju mengulur waktu komitmen untuk mengurangi emisi karbon. Papua dengan hutan alam yang luas memberi manfaat bagi dunia dengan menyerap karbon sehingga mengurangi pemanasan global, perubahan iklim. Jakarta tidak hanya mendapat manfaat dari emisi karbon yang dikeluarkan kendaraan bermotor tetapi manfaat dari perdagangan hutan Papua melalui skema perdagangan karbon dunia.

Nah, simpulan dari bagian satu catatan kecil tentang Papua bahwa Papua terbukti telah memberikan banyak manfaat bagi Indonesia dan dunia melalui kekayaan alamnya. Sungguh malang jika ditakuti karena persepsi sebagai tempat buangan, mengacu pada berita Kompas di atas, sedangkan tempat tersebut memberikan banyak manfaat bagi dunia. Bukankah seharusnya para putra terbaik bangsa yang dipercaya untuk mengelola Papua agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh umat manusia?

Pantai Base-G Jayapura

Photo Credit Flickr: Isnan Wijarno

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *