Pada suatu perjalanan aku berjumpa dengan traveller dari Spanyol dan bercakap-cakap tentang Papua. Dia bertanya, “Apakah anda pernah ke Wamena?” belum jawabku. Dia mengatakan, Wamena adalah Papua yang sesungguhnya. Kota-kota Jayapura, Timika, dan Sorong tidak ada bedanya dengan kota-kota di belahan dunia lain yang tersedia restoran waralaba internasional dan jaringan perusahaan global. Wamena itu unik dan menarik yang tidak ada di belahan dunia yang lain. Sejak itu keinginan aku ke Wamena semakin menggebu-gebu.
Persiapan diawali menyusun rencana dan mencari maskapai penerbangan termurah, tanya kesana-kemari. Akhirnya mendapat tiket dengan biaya termurah berkat bantuan dari teman-teman di jaringan pertemanan. Tiket pergi pulang telah dipegang, kamera telah diisi penuh baterainya, dikosongkan media penyimpannya.
Keinginan tercapai dengan berhasil mendarat di Bandara Wamewa.
Gambar di bawah ini.
Bandara Wamena, 1.570dpl
Di pinggir landasan kerumunan orang yang datang menjemput penumpang dan kuli angkut (porter) yang akan membantu barang bawaan. Sebagian lagi duduk di luar pagar melihat kedatangan pesawat.
Sahabatku telah menunggu di luar pagar yang selanjutnya mengantar ke beberapa tempat menarik di Wamena. Pagi itu sungguh luar biasa senangnya hatiku.
Pertama kali berjalan ke arah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) satu-satunya di Wamena. Aku kira siapa pun dapat beli BBM di SPBU. Ternyata tidak, tetapi dijatah setiap mobil yang hanya 20 liter dan motor 5 liter per bulan. “Setelah jatah diambil, dapat beli eceran di luar SPBU dengan harga 25-30 ribu per liter”, tutur teman yang saat itu mengemudikan mobil. Pantaslah jika harga barang dan jasa di Wamena adalah merupakan termahal di antara tempat lain di nusantara ini yang aku kunjungi.
Selanjutnya aku datangi adalah rumah adat Wamewa yang dinamakan Honai yang berbentuk kubah, berdinding kayu/bambu dan beratap ilalang/jerami yang digunakan sebagai tempat istirahat kaum laki-laki. Tinggi honai kurang lebih 2,5 meter, pintu yang sekaligus sebagai jendela sempit sekali. Di dalam honai dibuat api unggun untuk melawan udara dingin pegunungan. Beberapa laki-laki duduk mengelilingi api dan membakar ubi. Tak beberapa lama aku keluar karena mata pedih, tidak tahan dengan asap.
Percakapan dengan penghuni rumah dilanjutkan di luar honai. Aku mengenalkan diri, datang dari Jawa Timur yang ingin sekali melihat Wamewa. “Pasti orang kaya” tebak tuan rumah. “Bukan, aku hanyalah orang yang beruntung bisa sampai di sini” jawabku. Wajar jika diduga orang kaya, karena pada saat itu tiket pesawat Jakarta-Jayapura-Wamena pulang pergi paling murah lima jutaan.
Setelah melihat kondisi kehidupan penduduk setempat yang tertinggal, hilanglah keinginanku untuk memotret. Hingga kini jika melihat potret tentang penduduk Wamena yang memakai koteka dan perempuan telanjang dada di status teman yang diunggah di media sosial, maka kenangan mogok motret di Wamena teringat kembali.
Peristiwa itu bukannya tanpa sebab. Alkisah pada suatu perjalanan berjumpa dengan fotografer pofesional dari Eropa yang hasil bidikan kameranya kukagumi. Foto-fotonya bisa “”berbicara”, tidak sekedar komposisi yang bagus dan fokus yang tajam. Ketika itu aku ditanya, “Untuk apa memotret?” “Untuk kesenangan saja” jawabku.
Pada pertemuan itu diberi kuliah singkat tentang fotografi, kurang lebih berikut ini. Fotografi tidak hanya merekam objek pada kamera, pengaturan cahaya, fokus dan komposisi. Jika anda fotografi untuk kesenangan, idealnya tiga pihak yaitu: anda, objek/orang yang dipotret dan orang yang melihat hasilnya juga senang. Sebelum menekan tombol kamera, konsep harus ada di kepala, seperti apa hasil yang anda harapkan, untuk apa anda memotret. Jika hasilnya akan melanggar etika, batalkan. Foto yang dibuat tanpa etika, menjadi sekumpulan gambar tanpa makna bagi manusia yang beradab. Itulah salah satu tips agar foto bisa “berbicara”.
Tips memotret dari fotografer tersebut teringat kembali. Jika aku memotret sekarang, untuk apa sih? Apakah aku senang dan mereka yang dipotret juga senang? Apakah tidak melanggar etika? Apakah yang melihat hasilnya juga senang? Begitu berulang pertanyaan dalam hati sehingga tidak mengeluarkan kamera dari tas selama di perkampungan penduduk setempat.
Meskipun artikel ini tanpa foto yang bagus tentang Wamena, tetapi budaya dan keindahan alamnya adalah Papua yang sesungguhnya. Salah satu tempat di Papua yang wajib dikunjungi.