Tidak Merupakan Pembayaran yang Terpecah-pecah

Ketika belanja barang yang dikenakan PPN dan PPh Pasal 22, beberapa Bendahara bingung menafsirkan peraturan tentang tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Peraturan itu ada di KMK No- 563/KMK.03/2003, Pasal 4 “Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah” dan di PMK 154/PMK.03/2010, Pasal 3  “Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah”.

Pada dua peraturan di atas tidak ada penjelasan lebih lanjut kriteria terpecah-pecah itu yang bagaimana. Apakah terpecah-pecah atas belanja sehari, seminggu, sebulan, dan sebagainya. Karena tidak ada penjelasan khusus, dengan demikian apabila penafsiran tentang terpecah-pecah adalah menurut kewajaran belanja pada umumnya adalah tidak salah.

Namun perlu dicatat, aturan itu berlaku bagi Bendahara yang belanja uang negara yang berasal dari uang pajak dan Bendahara Wajib memotong atau memungut pajak. Bendahara digaji dari uang pajak pula, sehingga punya beban moral untuk memotong dan memungut pajak, berusaha tidak menghindari kewajiban memotong atau memungut pajak dengan memecah nilai belanja.

Pada saat Pemerintah menyusun APBN atas setiap rupiah pengeluaran uang negara diperhitungkan pula potensi pendapatan negara dari pajak (PPh dan PPN). Apabila Bendahara menghindari pemotongan dan pemungutan pajak dengan memecah belanja dan belanja kepada rekanan yang tidak taat pajak, tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP dan/atau bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka pendapatan negara dari pajak tersebut akan hilang.

Apabila Bendahara diperiksa pembelanjaan uang negara oleh institusi pemeriksa keuangan negara dan diketahui berbelanja terpecah-pecah kepada wajib pajak yang tidak punya NPWP dan atau PKP, maka ada kemungkinan diduga oleh pemeriksa Bendahara tersebut menghindari kewajiban pemungutan pajak. Dengan demikian atas tindakan Bendahara patut diduga merugikan keuangan negara karena tidak memungut pajak. Karena pembelanjaan Bendahara dapat digabung menjadi sejumlah besar nilai belanja untuk kebutuhan mencukupi periode tertentu. Uang yang akan digunakan belanja sudah tersedia cukup di rekening negara sesuai jatah belanja setahun, tidak seperti belanja rumah tangga perorangan. Fakta dan prosedur sebenarnya belanja dapat digabung, namun Bendahara belanja terpecah-pecah maka apabila tidak mempunyai alasan yang kuat dasar pemecahan belanja maka dapat dianggap merugikan keuangan negara.

Solusi mudah untuk menghindari dari dugaan merugikan negara maka belanja Bendahara sebaiknya kepada yang wajib pajak punya NPWP dan PKP serta berusaha berbelanja dengan nominal lebih dari Rp dua juta agar dapat memungut PPN dan PPh Pasal 22. Dengan demikian Bendahara untung negara untung, pajak yang dibayarkan juga uang negara, bukan uang Bendahara.

Bendahara yang mengelola keuangan dari Pemerintah Pusat ketika mencairkan belanja di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) disyaratkan adanya surat setoran pajak PPN apabila belanja BKP/JKP yang nilainya lebih dari satu juta. Hal ini sebagai kontrol agar Bendahara tidak melakukan kesalahan misalkan tidak memungut PPN dan sekaligus membantu mengawasi penerimaan pajak. Apabila Bendahara belanja lebih dari satu juta kepada non PKP dan tidak memungut PPN, apalagi diketahui harga beli lebih mahal dibanding harga di toko yang telah menjadi PKP pada saat yang sama, maka di kemudian hari Bendahara kemungkinan dapat dianggap merugikan negara dari dua hal, belanja lebih mahal dan tidak memungut PPN.

Artikel update Pembayaran Tidak Dipecah-pecah Update

Aturan Pemotongan atau Pemungutan Pajak Dana BOS, unduh di ikon Unduh Gratis

PMK 154 tahun 2010 Petunjuk Pemungutan PPh Pasal 22 Unduh Gratis

PMK 244 Jenis jasa objek PPh pasal 23 Unduh Gratis  

17 komentar untuk “Tidak Merupakan Pembayaran yang Terpecah-pecah”

  1. Mau tanya pak. Jika dalam satu SPM terdapat beberapa item belanja misalnya, Meja seharga 2,5 juta, kursi seharga 1,2 juta, kipas angin seharga 400 ribu, menggunakan satu kwitansi pembayaran bagaimana cara pemungutan pajaknya ? Apakah ditotal kemudian di hitung jumlah PPN dan PPh-nya ? Ataukah barang tidak kena pajak (dalam contoh kasus diatas kipas angin seharga 400 ribu) tidak ikut dimasukan dalam perhitungan untuk pemungutan pajak ?

    My answer:Betul, pembayaran ditotal dari jumlah besar belanja dikurangi barang yang tidak kena pajak PPN. Model seperti struk belanja di supermarket gitu lho. Kipas angin termasuk barang kena pajak - PPN meskipun harga kurang dari satu juta, tapi yg memungut penjualnya jika total belanja kurang dari satu juta.

  2. mau tanya pakk umpamanya … ada kasus pembelian barang 2 juta (atk) , terus si pembeli membeli barang tersebut dalam dua hari dengan pembelian pertama 1 juta terus hari berikutnya satu juta tetapi masih dalam satu toko… apakah itu sudah termasuk pembelian yang terpisah-pisah atau tidak dan tidak terkenna pajak ?? trimakkasih…

    My answer:Semua pembelian kepada pengusaha kena pajak (PKP), berapa pun nilai dan bagaimana pun caranya, dipecah atau digabung, SEMUA KENA PAJAK. Hanya saja batasan nilai tertentu PPh psl 22 = 2 juta dan PPN = 1 juta yg pembayarannya oleh Bendahara Pemerintah maka Bendahara yg wajib pungut pajak. Sedangkan pembelian jumlah kurang dari batasan, pengusaha sendiri yg membayar.

    Meskipun pembelian dua hari jika dibayarkan bersamaan yg nilainya melebihi batasan, bendahara wajib memungut pajak. Nah, metode pembelanjaan yang eceran setiap hari mungkin kurang cocok untuk lembaga pemerintah yang dananya telah tersedia di awal tahun dan kebutuhan juga dapat direncanakan dgn matang.
    Pemotongan atau pemungutan pajak karena kurang dari batasan minimum tidak wajib potong/pungut, tetapi cara belanja mungkin tidak sesuai dgn prosedur pembelanjaan uang negara.

  3. setelah saya baca artikel ini sepertinya bukan memberi penjelasan tetapi hanya menghimbau atau menakuti bendaharawan saja…
    batasan tersebut menurut saya sengaja tidak dibuat penegasan..karena beragamnya belanja bendaharawan…sehingga menjadi multi tafsir apakah batasannya
    1. per kwitansi/nota atau
    2. per hari atau
    3. per bulan atau
    4. per kegiatan atau
    5. per SPJ…..

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *